BERITACIKARANG.COM, CIKARANG PUSAT – Asuransi Pertanian kurang diminati para petani di Kabupaten Bekasi. Dari 52.000 hektar lahan milik kelompok tani yang ada di Kabupaten Bekasi hanya 200 hektar lahan yang sudah diasuransikan.
Kepala Bidang Tanaman Pangan di Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (DPPK) Kabupaten Bekasi, Nur Chaidir mengaku kurang diminatinya asuransi pertanian disebabkan kurangnya sosialisasi.
“Asuransi ini kami akui lemah, petani yang mendaftarkan lahannya kurang. Perlu sosialisasi agar petani lebih memahami sehingga mereka mau mengasuransikan lahan pertaniannya. Karena program ini bagus, jika nanti terjadi fuso, bisa ganti rugi,” kata Nur Chaidir, Kamis (05/01).
Dijelaskan olehnya, 200 hektar lahan yang sudah terdaftar dalam asuransi pertani mayoritas milik sepuluh kelompok tani yang berasal dari dua kecamatan dari total 13 kecamatan penghasil padi terbesar di Kabupaten Bekasi.
“Baru 200 hektar yang sudah mengasuransikan, itu dari sekitar sepuluh kelompok tani, jumlahnya masih jauh. Karena dari catatan kami itu jumlah kelompok tani ada 1.199 kelompok. Sepuluh kelompok tani ini mayoritas yang berada di Kecamatan Pebayuran. Serta ada juga yang dari Sukakarya, sedangkan kecamatan lain tidak ada,” kata dia.
Menurut Nur Chaidir, sebenarnya program asuransi ini dapat membantu proses produksi pertanian serta menghapus kekhawatiran petani akan terjadinya fuso. Asuransi yang diprogramkan Kementerian Pertanian ini memiliki iuran yang terbilang rendah. Petani hanya wajib membayar premi Rp 35.000 per tahun, karena sisanya dibayar melalui subsidi Pemerintah Pusat.
“Jadi petani hanya membayar Rp 35.000 per hektar. Itu per tahun, dua kali musim, jadi murah. Pengelolanya dari Jasindo yang dibawah kendali Kementerian Pertanian. Pendaftarannya bisa melalui Dinas Pertanian,” kata dia.
Kurangnya sosialisasi, lanjut Nur Chaidir, adalah salah satu penyebab para petani enggan mendaftarkan diri dalam asuransi. Para petani kurang memahami mekanisme asuransi serta khawatir jika terjadi fuso, ganti rugi yang dijanjikan sulit didapat. Akibatnya, petani kembali memercayakan persoalan pertaniannya pada tengkulak.
“Ini memang yang jadi kelemahan, kurang sosialisasi. Padahal daftar atau nanti jika terjadi gagal panen itu tidak sulit mengurusnya. Tahun lalu terjadi puting beliung di Pebayuran, sehingga rusak itu pertanian. Para petani lapor, kemudian kami cek lalu panggil dari jasindo, ganti ruginya langsung dibayarkan. Sesuai ketentuan, ganti ruginya Rp 7 juta per hektar. Kami juga selain mendorong asuransi, juga memantau asuransi itu sendiri. Khawatirnya ada keluhan,” kata dia.
Lebih lanjut disampaikan Nur Chaidir, pihaknya sempat mengajukan anggaran untuk subsidi asuransi pertanian. Namun, ajuan tidak disetujui. “Tahun lalu kami ajukan untuk di APBD 2017 ini, kami ajukan agar Pemkab bisa subsidi dari premi yang harus dibayarkan petani. Jadi kan Rp 35.000 petani harus bayar, kami ajukan agar itu disubsidi daerah tapi belum disetujui. Padahal itu bisa menarik minat petani,” kata dia.
Anggaran yang disetujui berupa penyediaan pupuk serta sejumlah peralatan pertanian lainnya. “Anggaran itu hanya melanjutkan yang sebelumnya. Namun tidak masalah, kami tetap akan dorong asuransi sebagai program prioritas dengan lahan berkelanjutan yang sudah disiapkan landasannya,” kata dia. (BC)