BERITACIKARANG.COM, CIKARANG PUSAT – Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana memonitoring Surat Izin Pemanfaatan Air (SIPA) yang dimiliki pihak swasta dan akan menertibkan perusahan-perusahan yang tidak mengantongi izin atau membayarkan pajaknya.
BACA : Dari Ribuan, Hanya 300 Pabrik di Kabupaten Bekasi yang Bayar Pajak Air Tanah
“Harus dikontrol kedepan karena pengambilan air tanah harus izin dan harus bayar pajak ke pemerintah dalam rangka pengendalian dan dalam rangka penghijauan,” kata Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan saat ditemui diacara Puncak Peringatan Hari Air se-Dunia tingkat Provinsi Jawa Barat di Situ Abidin, Kecamatan Bojongmangu, Kamis (22/03) lalu.
Ahmad Heryawan menyatakan selama menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, dirinya belum pernah menandatangani satupun berkas SIPA. Izin dan pengelolaan pajak air tanah sendiri, diakuinya baru menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi setelah Undang-undang 32 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah disahkan beberapa waktu lalu.
“Pengizinan memang di Pemrpov. Tetapi selama sepuluh tahun saya menjadi gubernur belum pernah ada izin yang saya tandatangani. Karena persoalan air ini kan diserahkan ke provinsi belum lama ya, jadi mungkin masih izin-izin yang lama,” ucapnya.
Sebagai bentuk pengawasan, Ahmad Heryawan meminta agar perusahaaan-perusahaan yang tidak mengantongi SIPA dan tidak menyetorkan pajaknya segera dilaporkan ke Pemprov Jabar.
“Laporkan saja mana perusahaan-perusahannya yang tidak memiliki izin. Ada datanya, kasih kepada kita dan akan kita kontrol.Kalau masyarakat menemukan, silahkan masyarakat laporkan kepada kami,” cetusnya.
Diberitakan sebelumnya, Panitia Khusus XXVI DPRD Kabupaten Bekasi yang membahas Rancangan Perda Pajak Daerah menemukan banyaknya potensi pajak yang tidak tergali di Kabupaten Bekasi. Salah satunya adalah pajak penggunaan air tanah.
Ketua Pansus XXVI DPRD Kabupaten Bekasi, Nurdin Muhidin menyatakan sebagai daerah dengan kawasan industri terbesar di Indonesia, jumlah wajib pajak pada sektor penggunaan air tanah di Kabupaten Bekasi hanya berjumlah sekitar 300 wajib pajak. Pemasukan yang diterima pada sektor ini bahkan dinilai masih sangat kecil dan tidak mencapai Rp 10 miliar per tahun.
“Ini salah satu sektor pajak yang kami pikir jauh dari bayangan kami. Potensi industri di Kabupaten Bekasi itu besar, ada ribuan pabrik di satu kawasan. Tapi saat kami tanyakan pajak air tanah, ternyata hanya ada 300 wajib pajak,” kata Nurdin, Selasa (06/03).
Dikatakan Nurdin, pajak air tanah seharusnya menjadi lumbung pendapatan asli daerah terutama di daerah yang kuat dengan sektor industrinya, seperti di Kabupaten Bekasi. Setiap industri yang berdiri, baik industri kecil hingga skala besar, membutuhkan air untuk menjalankan usahanya. Namun begitu, kompensasi yang didapat pemerintah daerah dari air yang digunakan tersebut jauh dari harapan.
“Kalau perusahaan besar yang ada di kawasan, katakanlah jumlahnya 3.000 perusahaan, berarti jika wajib pajaknya hanya 300 perusahaan, yang bayar pajak hanya 10 persen. Kemudian sisanya mereka ambil air dari mana? Apakah daerah dari PDAM? Belum tentu kan. Apa iya mereka tidak menggunakan air sedikit pun?” kata dia.
Sejak Undang-undang 32 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah disahkan, kata dia, pengelolaan pajak air tanah menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Seperti halnya pajak kendaraan bermotor yang dikelola Dinas Pendapatan Daerah Jawa Barat. Kendati demikian, berbeda dengan pajak kendaraan bermotor, persentase pemerintah kabupaten/kota dari pajak air tanah lebih besar.
“Kalau pajak kendaraan bermotor itu 70 persen diambil oleh provinsi dan 30 oleh kabupaten/kota. Pajak air tanah justru sebaliknya, 70 persen diberikan pada kabupaten/kota. Namun begtu, jumlahnya tetap kecil,” kata dia.
Dikatakan Nurdin, persoalan pajak air tanah ini masih ditelusuri akar persoalannya. Rendahnya penermaa pajak air tanah bisa disebabkan karena proses izin yang terlewat, pencatatan yang tidak aktual atau nilai perolehan air yang rendah.
Selain pajak air tanah, Pansus XXVI juga menyoroti sumber pajak lainnya yang dinilai belum digali secara maksimal oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Parkir, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, BPHTB, Pajak Reklame dan PBB.
Meski Raperda Pajak Daerah sudah diparipurnakan pada 15 Maret 2018 lalu, Raperda tersebut haruslah mendapat evaluasi dari Gubernur Jawa Barat untuk kemudian disahkan menjadi Peraturan Daerah. (BC)