Hari Wayang Nasional: Bekasi juga Punya Seni Wayang Kulit

Pimpinan sanggar Teguh Jaya Laksana, Babelan, Kabupaten Bekasi, Ki Sawal Jagur saat memainkan Wayang Kulit Bekasi.
Pimpinan sanggar Teguh Jaya Laksana, Babelan, Kabupaten Bekasi, Ki Sawal Jagur saat memainkan Wayang Kulit Bekasi.

BERITACIKARANG.COM, BABELAN – Hari Wayang Nasional diperingati setiap tanggal 7 November. Wayang merupakan budaya yang kaya dan mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa. Dalam setiap pertunjukan wayang, kita dapat menemukan cerita-cerita yang sarat makna, serta ajaran moral yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sayangnya, sebagai daerah urban banyak masyarakat yang hingga kini belum mengetahui kalau Bekasi juga memiliki seni pertunjukan wayang. Kesenian tradisional ini disebut dengan wayang kulit Bekasi.

Bacaan Lainnya

Awalnya wayang kulit Bekasi dibawa oleh seseorang yang bernama Balentet. Setelah ia berguru di daerah Cirebon dengan membawa wayang kulit Pandawa Lima sebagai warisan gurunya. Balentet mematangkan ilmu pedalangannya di daerah Bekasi dengan mendatangi tiga orang guru pedalangan, diantaranya Mbah Belentuk, Mbah Rasiun dan Mbah Cepe.

Sekitar tahun 1918, Balentet mulai mendalang hingga meninggal dunia pada tahun 1982. Sebagai dalang kondang di Bekasi, menjelang akhir hayatnya Balentet mewariskan keterampilan mendalangnya kepada putra-putranya, diantaranya Naman Sanjaya Balentet dan Namin. Keterampilan mendalang putra Balentet ini cukup terkenal di wilayah Bekasi, karena cara memainkan wayang dan pertunjukan wayang itu sendiri yang sangat egaliter.

Dari segi gaya permainan, wayang kulit Bekasi mendapatkan pengaruh yang cukup besar dari wayang golek Sunda, sekalipun bahasa yang digunakan adalah bahasa Bekasi (Betawi pinggiran). Namun pengaruh itu tetap terlihat pada intonasi dalang dan narasi yang terikat dalam struktur melodi yang nyaris sama dengan gaya pedalangan wayang golek Sunda.

BACA: Enam Dalang Unjuk Gigi di Binojakrama Padalangan Kabupaten Bekasi

Pimpinan sanggar Teguh Jaya Laksana, Babelan, Kabupaten Bekasi, Ki Sawal Jagur menjelaskan meskipun satu rumpun dengan Betawi, wayang kulit Bekasi berbeda dengan wayang kulit Betawi. Letak perbedaan terdapat pada bahasa yang digunakan.“Misal di Bekasi itu ada bahasa bagen bae (biarkan saja), ora ada (enggak ada) sama ngejubleg bae (diam saja). Itu kan relatif beda dengan betawi. Maka wayang kulit Betawi sama Bekasi itu beda,” ujarnya.

Perbedaan lainnya yakni komposisi musik yang dibuat lebih sederhana. Meski menyerupai iringan gamelan seperti wayang golek, jumlah alat musik pada wayang kulit Bekasi relatif lebih sedikit. “Sinden pakai, hanya lebih sederhana (alat musiknya). Hanya sebatas saron, bonang, goong sama rebab. Tapi walaupun sederhana, pertunjukkannya berani diadu sama wayang lain,” ucap dia.

Sudah bukan fenomena baru lagi tatkala kesenian tradisional kalah bersaing dengan kesenian modern. Hal itu pun terjadi pada wayang kulit Bekasi.
Sudah bukan fenomena baru lagi tatkala kesenian tradisional kalah bersaing dengan kesenian modern. Hal itu pun terjadi pada wayang kulit Bekasi.

Kalah Bersaing dengan Seni Modern

Ki Sawal Jagur menambahkan hingga saat ini pesta pernikahan dan khitanan masih menjadi pasar yang paling masuk akal bagi pertunjukan wayang kulit Bekasi. Namun, seni pertunjukan tradisional ini masih harus bersaing dengan kesenian modern dangdut yang hanya diiringi organ tunggal.

Untuk bisa bersaing dirinya pun rela banting harga. Dalam beberapa acara, dia terpaksa menerima bayaran sama dengan tarif organ tunggal. Padahal, selain untuk peralatan, dia tentu harus membayar para anak buahnya yang terdiri dari pemain musik, sinden hingga soundman.

“Kadang kalau bayarannya minim, kagak pake panggung. Ngedeprok aja ngedalang di bawah. Kalau yang punya hajat minta sama panggung, ya kami yang nyediain. Ya kalau enggak begitu, mana dapet panggung. Kalah sama dangdut,” ucap dia.

Selain menurunkan harga, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ki Sawal pun membuka kesenian lain seperti tari topeng dan odong-odong untuk mengarak pengantin keliling kampung.  Dari odong-odong dan topeng itu dia bisa menambah penghasilan, terlebih ketika wayang sepi peminat.“Ya sengaja saya buat odong-odong atau topeng, biar ada yang lainnya. Misal yang hajat pakai organ, ya paginya odong-odong dulu jadi tetap kebagian,” ucap dia.

Meski sering kalah oleh dangdut dan kesenian modern lainnya, wayang kulit Bekasi masih memiliki penggemar. Terbukti Ki Sawal masih menerima sedikitnya empat panggung per bulan meski dengan harga miring.

Jaga Kelestarian Wayang Kulit Bekasi di Hari Wayang Nasional

Seni wayang menghadapi berbagai tantangan di era modern ini, termasuk pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga kelestariannya dengan cara mendukung pertunjukan wayang di setiap kegiatan di wilayah Kabupaten Bekasi. Dengan merayakan Hari Wayang Nasional, kita turut berkontribusi dalam melestarikan warisan budaya yang sangat berharga ini bagi generasi yang akan datang. (DIM)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Pos terkait