BERITACIKARANG.COM, CIKARANG PUSAT – Direktur Eksekutife Tiksa Institute, Ahmad Djaelani menilai arogansi yang ditunjukan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Bekasi, Risman Tarihoran kepada jurnalis yang sedang melakukan tugas sangatlah menciderai nilai-nilai demokrasi.
BACA : Gelar Aksi Buka Baju, Wartawan ‘Gerah’ Arogansi Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi
“Jadi, arogansi semacam itu bukan hanya melukai profesi jurnalis, tetapi juga melukai gerakan pro demokrasi di Indonesia,” kata Ahmad Djaelani, Jum’at (20/10).
Sebab, kata dia, konsep demokrasi di Indonesia saat ini bukan hanya ada Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif saja, tetapi juga sudah menjadikan pers/media sebagai pilar ke empat demokrasi.
BACA : Kepala Kejari Kabupaten Bekasi Tunjukan Sifat Arogansi Ke Wartawan
“Arogansi yang dilakukan oleh Kajari sangat membahayakan demokrasi di Kabupaten Bekasi dan Demokrasi,” tegasnya.
Ditambahkan olehnya, selain persoalan menciderai nilai demokrasi, arogansi juga menandakan buruknya etika Kajari sebagai pejabat publik, terutama dalam gaya komunikasinya.
“Ini persoalan serius, karena jabatan Kajari yang melekat pada Risman tidak hanya sekedar membawa dirinya secara pribadi. Tetapi juga membawa institusi dan lembaganya,” kata Djaelani.
Disadari atau tidak, sambungnya, apa yang telah dilakukan Kajari kepada jurnalis bisa semakin menurunkan kepercayaan publik kepada kejaksaan. Apalagi saat ini institusi kejaksaan di Indonesia sedang mendapat sorotan tajam karena banyak terjerat korupsi.
“Khusus di Kabupaten Bekasi, kinerja Kejaksaan juga saat ini sedang disorot karena banyaknya dugaan kasus korupsi yang belum diungkap,” ucapnya.
Diberitakan sebelumnya, puluhan jurnalis menggelar aksi buka baju di depan kantor Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, Kamis (19/10) kemarin. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes atas arogansi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Bekasi, Risman Tarihoran.
Dalam aksi ini, selain mengumpulkan kartu identitasnya, para jurnalis dari berbagai media di Kota dan Kabupaten Bekasi itu juga melakukan aksi membuka baju sebagai simbol “gerah”-nya jurnalis terhadap sikap Kajari yang dinilai tidak bersahabat dan buruknya keterbukaan informasi yang disampaikan pimpinan dari lembaga adyahksa tersebut.
Aksi protes ini dilatarbelakangi sikap Kejari usai menghadiri kegiatan pisah sambut Komandan Kodim 0509/Kabupaten Bekasi di Hotel Horison Jababeka pada Rabu (18/10) lalu. Saat dihampiri jurnalis, dengan nada tinggi Kejari menolak diwawancarai.
“Saat itu sebenarnya saya belum berbicara apapun, bahkan minta wawancara juga belum. Tapi beliau (Kajari) langsung ngomong ‘saya tidak mau diwawancara sama wartawan’. Beliau bilang begitu sambil jarinya tunjuk-tunjuk ke saya, itu saya sayangkan. Jelas saya merasa tidak nyaman diperlakukan seperti itu sebagai wartawan, apalagi di depan banyak orang pas selesai acara,” ucap salah seorang jurnalis Cikarang Ekspres, Jiovano.
Usai ungkapan tersebut, Jiovano mencoba mengkonfirmasi namun Kajari memilih menaiki mobil lalu meninggalkan tempat acara. “Saya sempat tanya ucapan Kajari itu serius apa cuma becanda, tapi beliau melarikan diri,” kata dia.
Hal serupa diungkapkan wartawan lainnya, Arfan. Aksi kekerasan dialami Arfan usai menerbitkan berita tentang kelanjutan kasus miringnya jembatan Muaragembong beberapa waktu lalu. Arfan mengkritisi sikap Kejaksaan yang tak kunjung menyelidiki jembatan yang diduga gagal konstruksi itu. Usai beritanya terbit, Arfan dipanggil pihak Kejaksaan.
“Awalnya katanya cuma ingin mengobrol saja sehingga saya dipanggil. Saat itu ada Kajari, Kasi Intel sama Kasi Pidsus di salah satu ruangan di Kejaksaan. Tapi saya merasa disudutkan saat dipanggil itu. Tidak ada kekerasan fisik tapi kekerasan secara verbal saya dapatkan. Bahkan saya sempat diancam bakal dilaporkan ke polisi. Padahal posisinya saya hanya wartawan, menuliskan apa yang terjadi,” kata dia.
Wartawan Karang Bekasi Ekpres itu pun menyayangkan sikap Kejaksaan yang mencoba mengintimdasi pekerjaan wartawan. “Sebagai wartawan, kami tidak memiliki kepentingan dengan Kejaksaan sampai harus dipanggil seperti itu. Jujur saja saya merasa tidak nyaman diperlakukan seperti itu,” ucapnya.
Pada aksi unjuk rasa tersebut, Kajari Risman akhirnya mendatangi wartawan bersama Kasi Intel Adawan. Namun, sayangnya, pertemuan yang berlangsung di depan halaman Kejaksaan itu tidak berbuah hal positif. Terlebih ketika Kajari enggan menyampaikan permintaan maaf.
“Saya bukan tidak mau berbicara dengan wartawan, silakan (bicara). Tapi kalau masalah pribadi jangan dibawa kewartawanan, saya tidak suka diawancara kamu. (Kenapa?) tanya pada rumput yang bergoyang. Saya tidak ada urusan dengan wartawan… (Soal tugas wartawan yang dilindungi oleh Undang-undang Pers) itu urusan anda,” kata dia. (BC)