Tak Hanya Saripudin, Keganjilan Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung Juga Dirasakan Tetangganya

Sidang gugatan perdata kasus pembebasan tanah proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Negeri Cikarang, Rabu (25/09) lalu.
Sidang gugatan perdata kasus pembebasan tanah proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Negeri Cikarang, Rabu (25/09) lalu.

BERITACIKARANG.COM, CIKARANG PUSAT  – Persoalan penetapan harga sepihak dan ketiadaan musyawarah dalam proses pembebasan tanah proyek Kereta Cepat Jakarta –  Bandung tak hanya dialami Sarifudin, seorang pemilik tanah dan bangunan di Desa Lambang Jaya, Kecamatan Tambun Selatan.  Hal serupa ternyata dialami juga dua orang tetanggannya, yakni Ma’ruf dan Ade Zakaria.

Hal ini terungkap dalam sidang gugatan perdata kasus pembebasan tanah proyek Kereta Cepat Jakarta –  Bandung dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Negeri Cikarang yang dilayangkan Sarifudin melalui kuasa hukumnya, M. Adli Hakim H. SH, MH & Rekan. Sementara pihak tergugat, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) diwakili oleh kuasanya yaitu Jaksa Pengacara Negara dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.

Bacaan Lainnya

Ma’ruf mengakui jika proses pembebasan tanah proyek Kereta Cepat Jakarta –  Bandung yang dilakukan PT. PSBI melalui Panitia Pengadaan Tanah dilakukan sepihak tanpa ada unsur musyawarah. “Blanko keberatan dari harga yang dikeluarkan tim apresial (penilai harga) juga nggak ada,” kata Ma’ruf, saat ditemui usai menjadi saksi di hadapan majelis hakim, Rabu (25/09) sore.

Karena ketidaktahuannya, Makruf pun akhirnya pasrah dengan nilai yang dikeluarkan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan menandatangani berita acara persetujuan pencairan uang. “Saya nggak tahu kalau keberataan harus  seperti apa. Saya taunya kalau warga nggak mau terima, uangnya bakal langsung dititipkan ke pengadilan. Ya udah daripada repot harus ngurus ke pengadilan, uangnya saya cairkan, saya terima,” kata mantan Ketua RW 02 Desa Lambang Jaya ini.

Hal senada disampaikan Ade Zakaria. Hanya saja, Ade lebih lebih beruntung karena mendapatkan harga korektif dengan nilai mencapai kurang lebih Rp. 150 juta dari harga awal setelah sebelumnya berinisiatif mengajukan keberatan ke PT. PSBI  “Saya inisiatif pribadi aja, datang sendiri ke Jakarta dan mengajukan keberatan. Alhamdulillah ternyata tanah dan bangunan saya katanya masuk harga premium (karena dijadikan tempat usaha sejenis bengkel-red),” tuturnya.

Sementara itu Jaenudin, salah seorang saksi yang diminta Sarifudin untuk mengikuti jejak Ade Zakaria justru mendapatkan perlakuan berbeda. “Saya ikuti seperti yang dilakukan Ade Zakaria, tetapi perlakukannya berbeda. Padahal, tanah dan bangunannya sama-sama digunakan untuk tempat usaha. Saya justru langsung disuruh ke pengadilan,” tuturnya.

Sebelumnya,  PT PSBI selaku konsorsium dari beberapa BUMN yang ditugaskan untuk membebaskan tanah untuk proyek Kereta Cepat Jakarta –  Bandung diduga kuat telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap warga.

“Karena memang, terdapat keganjilan dalam mekanisme pemberian ganti rugi yang dilakukan PT. PSBI melalui Panitia Pengadaan Tanah kepada warga,” kata Sarifudin.

Adapun keganjilan yang dimaksud, karena penetapan harga dilakukan secara sepihak oleh Panitia Pembebasan Tanah yang bersumber dari perhitungan penilai publik. Padahal di dalam Pasal 2 UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mengatur bahwa asas dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu asas: kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan.

Adapun lebih lanjut mengenai asas kesepakatan dalam penjelasan tersebut adalah bahwa proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.

“Yang kami sayangkan proses musyawarahnya tidak ada. Hanya dispanduknya saja, judulnya musyawarah tetapi prosesnya tidak dilakukan. Warga langsung diberikan harga apresial di dalam amplop sehingga terkesan dipaksa untuk menyetujui. Kalau tidak setuju, nanti uangnya akan langsung dititipkan ke pengadilan. Dimana musyawarahnya?” kata dia heran.

Kedua, item-item dalam hasil penilaian ganti rugi yang diperhitungkan penilai publik pun tidak proporsional antara objek satu dengan lainnya.

“Sehingga selain mengalami kerugian karena pemaksaan harga lantaran dilakukan tanpa musyawarah, sebenarnya warga juga dirugikan dengan ketidakjelasan informasi mengenai hak untuk mengajukan keberatan,” tuturnya.

Sementara itu Kuasa Hukum Sarifudin, M. Adli Hakim H. SH, MH menyampakan terdapat satu fakta menggelitik yang ditemukan pada persidangan sebelumnya, yakni sikap abai dari panitia pengadaan tanah dan PT.PSBI menjelma menjadi arogansi manakala seharusnya semua pihak menghormati dan menunggu proses hukum di pengadilan selesai.

“Namun keduanya menyepelekan proses hukum dengan melakukan upaya-upaya percobaan eksekusi atas tanah, bahkan secara terang-teragan menyatakan dalam sidang pengadilan bahwa mereka tidak akan menunda proses hanya karena ada gugatan dikarenakan ini adalah proyek strategis nasional,” tuturnya.

Menurutnya, hal ini mengindikasikan bahwa panitia pengadaan tanah dan PT.PSBI bukan hanya menyepelekan masyarakat pencari keadilan tetapi juga menyepelekan lembaga peradilan.

“Jika dicermati dengan baik sebenarnya penetapan harga sepihak dan ketiadaan musyawarah dalam proses pembebasan lahan bukan hanya dialami oleh Bapak Sarifudin,” tuturnya.

Dalih yang sering dikumandangkan adalah saat ini, ganti rugi adalah ganti untung. Padahal pernyataan tersebut tidak bisa dijadikan parameter real dan hanyalah generalisasi belaka.

“Generalisasi pun terjadi antara lain karena sebagian masyarakat masih awam hukum dan hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh Panitia Pengadaan Tanah  (sebagaimana Sarifudin pada awalnya) sehingga masyarakat merasa pesimis jika harus bangkit melawan instansi yang memerlukan tanah seperti lembaga pemerintah atau korporasi besar,” tuturnya.

Oleh karenanya, gugatan yang dilayangkan ini bertujuan tak lain agar Pengadilan Negeri Cikarang dapat memutuskan bahwa Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bekasi, PT. PSBI dan KJPP MBPRU telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah melanggar ketentuan UU No.2 Tahun 2012 yang mengharuskan adanya musyawarah.

“Dan atas pelanggaran yang dilakukkanya, kami juga meminta agar para tergugat dihukum dengan memberikan ganti rugi materil juga immateril,” tutupnya. (BC)

Pos terkait