BERITACIKARANG.COM, TAMBUN SELATAN – Penggusuran bangunan warga di Desa Se tia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi oleh Pengadilan Negeri (PN) Cikarang menuai kontroversi karena adanya ketidaksesuaian antara eksekusi yang dilakukan dan denah sengketa yang telah ditetapkan. Hal ini memicu keluhan dari warga yang merasa dirugikan akibat bangunan mereka turut terdampak meskipun tidak termasuk dalam area yang disengketakan.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menjelaskan terdapat lima bangunan milik warga yang kini telah rata dengan tanah meski berada di luar obyek lahan yang disengketakan oleh penggugat. Kelima bangunan tersebut milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi dan korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR).
“Kalau dilihat dari data, ini di luar tanah yang disengketakan, setelah kami cek,” kata Nusron Wahid, Jum’at (07/02).
Nusron menyebutkan berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, kelima rumah tersebut berada di luar lahan milik seorang bernama Kayat dengan nomor Sertifikat Hak Milik (SHM) 706. “Menurut data kita itu ya di luar SHM 706,” katanya.
Menurut dia kesalahan penggusuran tersebut karena pengadilan tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi dalam pelaksanaan eksekusi putusan. Padahal, terdapat sejumlah tahapan harus dijalankan, seperti mengajukan pembatalan sertifikat warga kepada Kantor BPN Kabupaten Bekasi sebelum melakukan eksekusi.
“Sampai penggusuran belum ada pemberitahuan, pelibatan dan belum ada permintaan penggusuran. Jadi ini proses eksekusi yang prosedurnya kurang tepat. Saya menganggap penghuni masih sah,” kata Nusron Wahid.
Sementara itu lima orang warga yang menjadi korban salah gusuran merasa lega dan bahagia setelah Menteri ATR/BPN Nusron Wahid memberikan kepastian bahwa bangunan milik mereka berada di luar area lahan sengketa. Hal ini berarti eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Cikarang pada tanggal 30 Januari lalu seharusnya tidak terjadi.
Mursiti (60), salah satu warga yang terdampak penggusuran, merasa lega setelah mendengar langsung pernyataan dari Menteri ATR/BPN. Ia mengungkapkan bahwa sejak penggusuran terjadi, dirinya kehilangan tempat tinggal dan sumber penghasilan, sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Saya alhamdulillah, ada sedikit lega sama Pak Menteri. Bersyukur sekali, selama ini tidak bisa tidur, saya gak usaha, anak saya gak bekerja, mikirin sehari-hari dan gak punya kerjaan apa-apa,” ucapnya penuh haru.
Nusron Wahid tidak hanya berkomitmen untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, tetapi juga menunjukkan kepeduliannya dengan memberikan bantuan secara langsung dari dana pribadinya sebesar Rp25 juta kepada warga yang rumahnya telah dirubuhkan saat proses eksekusi. Bantuan tersebut sontak membuat warga terkejut dan terharu. Para korban, yang mayoritas ibu-ibu lansia, bahkan memeluk Nusron sambil menangis.
“Saya sangat senang sekali karna pak menteri memperhatikan kami rakyat kecil. Terimakasih sekali saya sangat terbantu untuk bertahan hidup dibantu Rp 25 juta masing-masing,” tambah Mursiti.
Asmawati (69), seorang pensiunan tenaga kesehatan dari Puskesmas Aren Jaya, Bekasi Timur, merasakan keharuan yang mendalam atas pernyataan Nusron Wahid yang memberikan secercah harapan baginya. Setelah rumah sekaligus tempat usahanya digusur, ia kini terpaksa tinggal bersama anaknya. Bersama empat korban salah penggusuran lainnya, Asmawati berharap keadilan dapat segera terwujud dan hak-haknya dikembalikan.
“Kami menerima cobaan ini udah terjadi gimana, kita cuma berdoa kepada Allah. Mudah-mudahan ada keadilan dari kita dari pak menteri. Hak-hak kita dikembalikan lagi. Kami hanya ingin keadilan dan tempat tinggal kami kembali,” kata dia.
Diketahui eksekusi lima rumah warga di wilayah dimaksud dilakukan oleh PN Cikarang merujuk putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk bernomor sertifikat 325 yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada tahun 1976.
Persoalan tanah ini semakin kompleks karena sertifikat hak milik tanah seluas total 3,6 hektare itu berganti-ganti kepemilikan. Semula dimiliki Djuju, kemudian dijual ke Abdul Hamid.
Abdul Hamid menjual kembali lahan tersebut kepada Kayat dan Kayat memecah sertifikat tersebut menjadi empat bidang dengan nomor SHM 704, 705, 706 dan 707.
Kayat kemudian melepas dengan SHM nomor 704 dan 705 ke Toenggoel Paraon Siagian. Sedangkan SHM 706 dan 707 dijual secara acak oleh Kayat.
Setelah berulang kali berganti nama pemilik, Mimi kemudian menggugat semua pemilik. Dari gugatan ini diketahui bahwa transaksi jual beli lahan antara Djuju dan Abdul Hamid bermasalah.
Djuju membatalkan sepihak jual beli lahan setelah Abdul Hamid gagal membayar keseluruhan nilai lahan. Gugatan yang diajukan Mimi bermodalkan Akta Jual Beli (AJB) antara Djuju dan Abdul Hamid.
Pada tahun 2019, Toenggoel menjual lahan SHM 705 ke Bari setelah mengetahui pihak Mimi mengajukan eksekusi pengosongan lahan pada 2018.
Dari pembelian lahan ini, nama pemilik SHM 705 berganti dari Toenggoel menjadi atas nama Bari. Pembelian ini yang kemudian menghasilkan bangunan yang kini berdiri sebagai perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2.
Selain cluster, terdapat pula tiga bidang tanah lain yang dieksekusi pengadilan, antara lain SHM dengan nomor 704, 706, dan 707. (DIM)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS