BERITACIKARANG.COM, CIKARANG PUSAT – Pemerintah Kabupaten Bekasi menegaskan tidak akan memberikan kompensasi dalam bentuk ‘uang bau’ kepada warga di sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Burangkeng di Kecamatan Setu. Alasannya, pemberian kompensasi dalam bentuk uang dinilai menyalahi aturan.
BACA: 8 Ribu Ton Sampah di Kabupaten Bekasi Tak Terangkut Ke TPA
Hal itu terungkap setelah Pemkab menggelar pertemuan dengan perwakilan warga Desa Burangkeng di Gedung Bupati Bekasi, Kecamatan Cikarang Pusat, Rabu (13/03). Meski hadir, warga memilih walk out karena tuntutan kompensasi dalam bentuk uang tidak terpenuhi.
“Semua aspirasi yang mereka sampaikan bisa kami akomodir, namun hanya satu yang tidak bisa berkaitan dengan masalah kompensasi. Karena menurut aturan, bahwa kompensasi itu tidak melulu berbentuk uang dan tidak ada penjelasan dalam bentuk uang,” kata Asisten Daerah III Kabupaten Bekasi, Suhup, usai memimpin pertemuan.
Aturan yang disebutkan Suhup merunut pada Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang kemudian diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga.
Berdasarkan regulasi tersebut, kompensasi yang dapat diberikan terdiri dari persoalan infrastruktur, sarana pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. “Sementara mereka beranggapan bahwa kompensasi itu berbentuk uang. Nah kita mentok disini,” kata Suhup.
Menurut dia, keinginan warga didasari adanya komepensasi berupa uang yang diterima warga di sekitar Tempat Pemrosesan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang di Kota Bekasi. Suhup menjelaskan, persoalan TPST Bantar Gebang berbeda dengan TPA Burangkeng.
BACA: Hari Ke 9 Penutupan TPA Burangkeng, Pemkab Bekasi Bahas Tuntutan Warga
“Bantar Gebang kompensasinya dari DKI Jakarta. Kenapa Pemerintah DKI Jakarta boleh memberikan uang kompensasi, karena pembuangan sampahnya di luar wilayah. Kalau Burangkeng kan bagian dari Kabupaten Bekasi, bukan di luar Kabupaten Bekasi. Nah Pemerintah Kota Bekasi pun tidak memberikan kompensasi dalam bentuk uang tapi dalam bentuk sarana kesehatan, pendidikan dan sebagainya,” kata dia.
Suhup menambahkan, pada pertemuan tersebut sebenarnya Pemkab bersedia memfasilitasi usulan lain yang sebelumnya sudah disampaikan warga. Namun sayangnya, warga justru memilih walk out dan ‘kekeuh’ ingin memeroleh kompensasi dalam bentuk uang.
“Meskipun nilai uangnya tidak terlalu besar, tapi kalau uang negara, sekecil apapun digunakan dengan menyalahi aturan kan tetap salah, kami tidak berani. Padahal jika diganti dengan kompensasi lainnya seperti dalam bentuk infrastruktur, sarana kesehatan dan sekolah-sekolah baru justru lebih baik, namun mereka tidak mau sehingga pertemuan juga tidak ada titik temu,” ujarnya.
Karena tidak ada kesepakatan yang terjalin, lanjut Suhup, Pemkab memberikan batas waktu pada warga untuk membuka TPA Burangkeng sampai Kamis (14/03). Jika melebihi waktu yang ditentukan, Pemkab berencana bakal meminta bantuan aparat keamanan.
“Tadi peserta rapat menyimpulkan sampai besok, unsur Muspika di Kecamatan Setu akan melakukan musyawarah agar warga dapat dengan sukarela membuka TPA. Kalau sampai besok tidak dibuka, dengan sangat terpaksa nantinya kami akan minta bantuan pihak kemanan. Karena itu TPA resmi, legal, jangan sampai berlarut karena dampaknya sangat riskan. Sampah sudah di mana-mana,” kata Suhup.
Sementara itu, perwakilan warga, Ali Gunawan enggan menanggapi lebih jauh terkait ditolaknya kompensasi dalam bentuk uang. Namun, kata dia, kebijakkan Pemkab itu berbeda dengan pernyataan yang disampaikan sebelumnya.
“Selama ini mereka bilang (kompensasi dalam bentuk uang-red) ada, ada, ada tapi sampai pertemuan tadi justru tidak ada. Kemudian yang tadi dibahas kirain soal kuota (penerima kompensasi-red), tetapi kompensasi buat warga saja tidak ada,” kata dia. (BC)