Kenaikan Upah Minimum, Rieke : Jangan Sampai ditentukan Tanpa Survey KHL

Rieke Diah Pitaloka
Rieke Diah Pitaloka

BERITACIKARANG.COM, CIKARANG PUSAT – Anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka menilai kebijakan pemerintah untuk menaikan Upah Miminum Provinsi (UMP) atau Upah Miminum Kabupaten/Kota (UMK) 2018 sebesar 8,71 % sesuai dengan PP 78/2015 tidak tepat digunakan karena belum sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) para pekerja.

BACA : Soal Penetapan Upah Minimum, DPRD Desak Provinsi dan Kabupaten Bekasi Tak Gunakan PP 78

Bacaan Lainnya

“Kalau kebutuhan hidup (para pekerja-red) sudah layak, maka penentuan kenaikan upah  yang disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan PP 78/ 2015 sudah cukup baik,” kata Rieke saat ditemui belum lama ini.

Namun, kata dia, seperti diketahui bersama mayoritas kehidupan pekerja saat ini belum dapat hidup layak dan standar pengupahan yang ada pun belum sesuai standar hidup layak yang sesungguhnya.

“Dengan demikian, maka sudah seharusnya ada terobosan untuk merevisi Komponen Hidup Layak yang selama ini menjadi salah satu acuan standar hidup layak. Tidak boleh lagi menitikberatkan pada kuantitas atau jumlah komponen yang menjadi dasar penghitungan, namun harus diarahkan pada kualitas,” ucap Rieke.

“Sehingga skala upah yang berkeadilan dapat tercipta, disparitas upah antara pekerja di level managemen dan pekerja di level bawah tidak terlalu jauh. Komponen Hidup Layak ini nantinya juga harus digunakan dalam penentuan UMK/UMP, melalui survey pasar. Jangan sampai Upah Minimum ditentukan tanpa survey Kebutuhan Hidup Layak Pekerja,” sambungnya.

Hal penting lainnya, kata dia, dialog sosial yang berlangsung di Dewan Pengupahan dengan melibatkan unsur tripartit (Pemerintah, Pekerja dan Pengusaha) harus diperkuat, jangan dilemahkan. “Proses pembahasan upah pun harus bersifat terbuka, sehingga isu upah tidak menjadi komoditas kampanye politik semata,” ucapnya.

Politisi PDI Perjuangan ini menilai pemerintah lebih hadir lagi dengan mengeluarkan kebijakan yang berpihak tidak hanya kepada pekerja, tetapi juga pada pelaku industri. Tidak bisa kesejahteraan buruh diserahkan seratus persen kepada pengusaha. Pengusaha dan pekerjanya adalah para pihak yang telah berkontribusi besar pada perekonomian negara. Mereka pun bisa dipastikan adalah pembayar pajak. Karena itu sudah saatnya kesejahteraan pekerja yang merupakan hak konstitusional warga negara, seperti kesehatan, pendidikan dan pelatihan, serta Jaminan sosial Pekerja dan keluarganya menjadi tanggung jawab negara pula.

“Di sisi lain, saya sungguh merasa khawatir terhadap kondisi dunia industri Indonesia. Perlu ada penguatan terhadap pelaku industri, jangan dibiarkan mereka berjuang sendiri mempertahankan keberlangsungan hidup industri Indonesia,” kata dia.

Ia pun mengaku sangat mendukung agar Pemerintah segera membuat roadmap industri yang komprehensif, memberikan keberpihakan perbankan dengan lebih meningkatkan lagi perbaikan sistem perijinan cepat, tepat dan murah,hingga tercapai target zero pungli.

“Saya mengapresiasi pembangunan infrastruktur yang terus diupayakan. Akan tetapi hal tersebut tentu tidak cukup. Harus ada kebijakan simultan lainnya, seperti kebijakan penguatan riset industri dan keberpihakan kebijakan energi kepada industri Nasioanal,” kata anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi perindustrian itu. (BC)

Pos terkait