Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh Tagih Janji Bupati Bekasi

demo-buruh-di-kantor-bupati-lima
demo-buruh-di-kantor-bupati-lima

BERITACIKARANG.COM, CIKARANG PUSAT – Ratusan buruh yang tergabung dalam Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Bekasi, Rabu (02/11). Mereka ingin memastikan Pemerintah Kabupaten Bekasi tetap menggunakan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai landasan menentukan upah minum 2017.

BACA : Tolak PP 78, Ribuan Buruh Geruduk Gedung Bupati

Bacaan Lainnya

Ketua Umum GSPB, Cecep Syaripudin mengatakan aksi buruh ini merupakan reaksi dari ditetapkannya upah minimum provinsi oleh Gubernur Jawa Barat sebesar Rp 1,4 juta. Buruh menuntut agar Pemkab Bekasi tidak mengikuti jalan Pemprov yang menetapkan upah minimum dengan berlandaskan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015. Soalnya, penggunaan PP 78 tahun 2015 itu dinilai merugikan buruh.

“Kami tegaskan agar Pemda mengabaikan PP 78 tahun 2015 dan kembali menggunakan undang-undang ketenagakerjaan. Karena PP 78 yang jumlah kenaikannya 8,2 persen tidak sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini,” kata dia saat ditemui di sela-sela aksi.

Diungkapkan Cecep, penggunaan UU 13 tahun 2013 dinilai sudah sesuai karena didasari pada kebutuhan hidup yang yang dihitung setiap tahun. Menurut Cecep, dari hasil perhitungannya, kenaikan upah minimum harusnya sebesar 20-30 persen. Saat ini, UMK Kabupaten Bekasi atau terbesar ketiga di Jabar setelah Karawang dan Kota Bekasi.

BACA : Kehadiran Bupati di tengah Demo Bernuansa Politis?

“Kenaikan UMK sendiri untuk perkembangan perekonomian di Kabupaten Bekasi. Kabupaten Bekasi seperti diketahui mayoritas buruh, dengan kenaikan UMK tentu akan berdampak pada perekonomian Kabupaten Bekasi. Kami pun menilai perusahaan masih mampu menggaji,” kata dia.

Selain mendesak kenaikan UMK 20 persen, buruh pun meminta agar fasilitas BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan dijamin. Menurut dia, saat ini masih terdapat buruh yang tidak didaftarkan fasilitas tersebut. “Akibatnya apa, jika berobat tidak dicover. Kemudian jika masa kerjanya habis, buruh tidak memiliki tabungan untuk kehidupannya. Padahal jika ada tabungan, bisa menjadi modal membuka usaha,” kata dia.

Pada aksi sebelumnya, buruh telah membuat kesepakatan bersama Pemkab Bekasi untuk kembali menggunakan UU 13 tahun 2003. Selain itu, Pemkab pun memastikan Kabupaten Bekasi masih memberlakukan upah sektoral. Upah sektoral merupakan upah yang terbagi atas empat bidang industri. Pertama, industri yang terdiri dari otomotif, pertambangan, batu bara maupun sumber daya mineral. Dalam strata pengupahan, sektor ini menjadi yang tertinggi dengan upah minimum Rp 3,4 juta.

Kemudian sektor kedua yakni elektronik, dan manufaktur. Sektor ketiga terdiri dari industri pariwisata, sedangkan sektor keempat di antaranya industri garmen dan pengolahan makanan. Antar sektor terdapat perbedaan upah antar Rp 100.000-200.000.

Wakil Ketua II Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Bekasi, Zen Mutowali mengatakan, Pemkab harus menghormati komitmen yang sudah disepakati, yakni kembali menggunakan UU 13/2003. Dikatakan Zen, formulasi penetapan upah melalui UU 13 tahun 2003 dinilai lebih komprehensif daripada PP 78 tahun 2015.

“Dalam PP 78 itu tidak dikenal dengan upah sektoral. Sedangkan di Bekasi, upah sektoral itu sudah ditetapkan sejak 2006. Upah sektoral ini ditetapkan berdasarkan beban kerja sektor tersebut. Jadi memang harus tetap ada. Untuk itu, kami menuntut agar Pemkab kembali menggunakan Undang-undang 13 dan mengabaikan PP 78. Memang bisa diabaikan? Bisa karena undang-undang itu berada di atas PP,” kata dia.

Pada kesempatan berbeda, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Bekasi Effendi mengatakan, UMK 2017 masih dalam pembahasan antara Dewan Pengupahan yang terdiri dari Pemkab, perwakilan perusahaan serta buruh. (BC)

Pos terkait