BERITACIKARANG.COM, CIKARANG UTARA – Menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, perajin kue keranjang di Kabupaten Bekasi mulai menggenjot produksi. Mereka harus memenuhi permintaan pasar dari dalam dan luar kota.
Candra (52) seorang produsen kue keranjang atau sering disebut juga dodol Cina mengatakan menjelang Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 25 Januari 2020 mendatang dirinya mulai kebanjiran pesanan.
“Jadi sejak awal Januari sudah mulai pesanan banyak yang masuk. Awalnya cuma beberapa kilogram, tapi sekarang sudah lumayan banyak,” ucap Candra saat ditemui di kediamannya di Desa Karangasih Kecamatan Cikarang Utara, Sabtu (19/01).
Candra mengaku sejak berdiri tahun 1995, dapur kue keranjang miliknya selalu menerima permintaan puluhan bahkan ratusan ribu kue keranjang saat menjelang Tahun Baru Imlek. Saat ini saja, dia sudah memproduksi sedikitnya 2,1 ton kue keranjang setiap hari untuk memenuhi permintaan pelanggan.
“Kalau kue keranjang ini kan sistemnya bukan satuan tapi dijual per kilogram. Jadi kalau waktu awal-awal cuma beberapa kilogram, sekarang kami buat 2,1 ton kue setiap hari karena yang mesan banyak. Kalau dihitung, berarti ada sekitar 6.300 buah kue. Karena satu kilogram itu isinya tiga buah,” ucap dia.
Saat ini Candra sudah memiliki cukup banyak pelanggan tetap. Ribuan kue keranjang buatannya pun tak hanya beredar di Kabupaten Bekasi, namun juga banyak dikirim ke berbagai kota seperti Jakarta, Bogor dan Bandung menjadi pasar terbesar.
“Pernah sampai ke Belanda tapi ya baru sekali. Paling banyak Bandung yang pesan. Kan mungkin banyak vihara di sana. Kemudian kalau di Cikarang sendiri justru sedikit. Makanya yang banyak itu dikirim ke luar kota,” ucap pria yang memiliki nama lain, Tan Cen In ini.
Selain kue keranjang, Candra pun memproduksi kue susun yang biasa digunakan untuk jamuan beribadah. Baik kue keranjang atau kue susun, Candra menjualnya Rp 30.000 per kilogram. “Karena memang isinya sama, itu-itu juga. Cuma kalau kue susun dibentuk, disusun. Ada yang isinya tiga, lima, tujuh atau sembilan, pokoknya ganjil,” ucap dia.
Mewarisi usaha orang tua, Candra mengaku tidak sembarang membuat kue terlebih bahan dasar kue yakni beras ketan. Dalam tradisiya, Candra mempercayai beras ketan maupun hasil bumi lainnya merupakan hal yang perlu perlakukan dengan baik.
Untuk itu, sesaat sebelum memasak, Candra selalu sembahyang dengan maksud meminta izin. “Saya tidak berani macam-macam. Itu kan dari mulai beras, digiling, dikukus tidak sembarangan. Makanya selalu minta izin ke leluhur supaya berkah,” ucap dia.
Selain menjaga tata cara sesuai kepercayaan, Candra pun menjaga keaslian bahan yang digunakan. Kue keranjang produksinya terbuat beras ketan yang dicampur dengan gula yang dimasak tanpa bahan pengawet. Bahkan saat kue dikukus menggunakan lima tungku berdiameter sekitar 1,5 meter, Candra memilih kayu bakar.
“Kalau dari awalnya memang dari kayu bakar, sampai sekarang. Di pabrik bisa saja pakai pembakaran, pakai minyak tapi rasanya juga ada kayak dari minyak begitu,” ucapnya.
Candra mengatakan, dalam membuat kue keranjang, tidak hanya sekadar memasak tapi menjaga tradisi yang diwariskan. Itu yang akan terus dia jaga. Karena, selain sebagai kudapan, kue keranjang pun bagian dari tradisi yang bahkan digunakan untuk beribadah.
“Maka sejauh saya membuat ini, tradisi terus dijaga. Tidak hanya cara membuatnya tapi cara memakannya. Tradisi yang kami percayai, kue keranjang baru dapat dimakan menjelang cap go meh. Tujuannya keberkahan,” kata dia. (BC)