BERITACIKARANG.COM, CIKARANG PUSAT – Terkait rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi nomor 3 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, Sekretaris MUI Kabupaten Bekasi, KH. Athoillah Mursyid mengatakan, Perda Kepariwisataan merupakan bentuk dari aspirasi masyarakat yang ingin membebaskan Kabupaten Bekasi dari bentuk kemaksiatan yang dibungkus sarana wisata.
Untuk itu, pihaknya berharap Pemprov mendukung aspirasi masyarakat Kabupaten Bekasi yang tertuang dalam perda tersebut. “Kami berharap dengan perda yang sudah ditetapkan oleh DPRD dan Pemda itu Provinsi mendukung. Itu juga khusus Perda Pariwisata di Kabupaten Bekasi merupakan aspirasi masyarakat Kabupaten Bekasi. Kalau Pemprov Jabar membatalkan, berarti kan menyalahi atau tidak mendukung apa yang diinginkan masyarakat Kabupaten Bekasi,” kata dia, Kamis (28/07).
Dijelaskan Athoillah, MUI turut terlibat dalam pembahasan perda tersebut, terlebih dalam kaitan membebaskan Kabupaten Bekasi dari kegiatan yang melanggar norma agama. Dia mengaku khawatir jika rencana pembatalan perda dilakukan, bukan tidak mungkin tempat hiburan yang semula dilarang bakal tumbuh semakin banyak. Padahal, perda tersebut merupakan salah satu perwujudan dari visi Kabupaten Bekasi sebagai daerah yang agamis.
“Jelas ada kehawatiran. Spa dan tempat hiburan lainnya akan muncul dan tentu kami tidak harapkan itu. Apalagi kami ingin Kabupaten Bekasi ini sesuai dengan visi dan misinya sebagai daerah yang agamis. Artinya tidak mau kemaksiatan berkembang di Kabupaten Bekasi,” kata dia.
Keberadaan tempat hiburan malam menjadi poin yang kontroversial dalam kepariwisataan. Pada Perda 3 tahun 2016 itu disebutkan jenis usaha yang tidak sesuai dengan norma agama dilarang di Kabupaten Bekasi. Jenis usaha yang dimaksud yakni diskotik, bar, klab malam, pub, karaoke, panti pijat, live musik dan usaha sejenis lainnya.
Namun poin tersebut justru berbeda Undang-undang nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Pada pasal 14, undang-undang mencantumkan penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi sebagai suatu usaha pariwisata, termasuk di dalamnya usaha spa.
Menanggapi perbedaan tersebut, Athoilah mengatakan hal itu telah dibahas saat raperda. Menurut dia, daerah memiliki kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-undang Otonomi Daerah. “Kami berpegang pada otonomi daerah. Undang-undang otonomi daerah kan tidak dicabut sampai sekarang, berikan dong kebebasan daerah untuk mengatur daerahnya. Itu kan juga kearifan lokal,” kata dia. (TA)