BERITACIKARANG.COM, SETU – Penutupan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Burangkeng masih berlanjut. Tim 17, Kepala Desa dan warga Desa Burangkeng berencana untuk membahas penolakan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk mengakomodir salah satu tuntutan mereka, yakni kompensasi dalam bentuk ‘uang bau’.
“Yang pasti untuk sekarang TPA masih ditutup dan nanti kita juga mau ada pertemuan lagi, musyawarah antara tim 17, aparatur desa dan warga untuk mencari solusi terbaik mengenai TPA. Mudah-mudahan besok sudah ada hasil musyawarahnya,” kata perwakilan warga, Ali Gunawan usai menghadiri pertemuan yang dipimpin oleh Camat Setu di Kantor Desa Burangkeng, Kamis (14/03).
BACA: Pemkab Ogah Akomodir Uang Bau, Warga Burangkeng Pilih Walk Out
Hal ini, kata Ali, menjadi alasan kenapa warga memilih walk out dalam pertemuan yang digelar Pemerintah Kabupaten Bekasi pada Kamis (14/03) kemarin. “Kemarin kan kita ditawarinya kompensasi dalam bentuk lain, sementara warga kan menuntuntnya kompensasi (dalam bentuk uang-red). Takutnya keputusan yang kita ambil nggak sesuai dengan harapan mereka. Makanya daripada kita paksakan membuat suatu keputusan, mending kita walk out aja,” ungkapnya.
Pria yang menjabat sebagai Ketua Tim 17 itu menjelaskan kompensasi berupa uang yang diinginkan oleh warga muncul karena adanya kecemburuan sosial yang dirasakan warga Desa Burangkeng akibat kompensasi yang diterima warga Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantergebang, Kota Bekasi dari keberadaan TPST Bantargebang.
“Warga Sumur Batu itu setiap tiga bulan sekali antri di BJB Desa Burangkeng untuk ambil duit kompensasi dari sampah. Sementara di Burangkeng sendiri yang jelas-jelas ada TPA tidak mendapatkan apa-apa. Jadi disitu ada kecemburuan sosial, warga Sumur Batu yang deket sampah dapet, sementara kita yang punya sampah sendiri nggak dapet,” ungkapnya.
Oleh karenanya, dia berharap Pemerintah Kabupaten Bekasi bisa sama-sama mencari solusi terbaik untuk permasalahan yang dialami warga Desa Burangkeng terkait keberadaan TPA. . “Artinya Pemda jangan kaku, kalau misalkan mentok di aturan mereka juga harusnya bisa berfikir gimana caranya nih (agar kompensasi dalam bentuk uang bagi warga bisa terakomodir),” kata Ali.
Apalagi, sambungnya, dari beberapa pertemuan yang pernah dilakukan perwakilan warga dan perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, kompensasi tersebut bisa diakomodir.
“Kalau kemarin memang sama sekali tidak diakomodir dan itu berbeda dengan pertemuan sebelum-sebelumnya karena kita kan sudah dua kali nih ketemuan sama dinas dan dari orang dinas sendiri pernah mengatakan ada kesanggupan untuk masalah kompensasi, jadi tinggal dibicarakan kuotanya, sementara nominal kan nanti ada kajian. Sementara waktu rapat kemarin, jangankan berbicara nominal, soal kompensasi uang saja itu tidak ada,” keluhnya.
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Bekasi menegaskan tidak akan memberikan kompensasi dalam bentuk ‘uang bau’ kepada warga di sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Burangkeng di Kecamatan Setu. Alasannya, pemberian kompensasi dalam bentuk uang dinilai menyalahi aturan.
Hal itu terungkap setelah Pemkab menggelar pertemuan dengan perwakilan warga Desa Burangkeng di Gedung Bupati Bekasi, Kecamatan Cikarang Pusat, Rabu (13/03). Meski hadir, warga memilih walk out karena tuntutan kompensasi dalam bentuk uang tidak terpenuhi.
“Semua aspirasi yang mereka sampaikan bisa kami akomodir, namun hanya satu yang tidak bisa berkaitan dengan masalah kompensasi. Karena menurut aturan, bahwa kompensasi itu tidak melulu berbentuk uang dan tidak ada penjelasan dalam bentuk uang,” kata Asisten Daerah III Kabupaten Bekasi, Suhup, usai memimpin pertemuan.
Aturan yang disebutkan Suhup merunut pada Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang kemudian diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga.
Berdasarkan regulasi tersebut, kompensasi yang dapat diberikan terdiri dari persoalan infrastruktur, sarana pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. “Sementara mereka beranggapan bahwa kompensasi itu berbentuk uang. Nah kita mentok disini,” kata Suhup.
Menurut dia, keinginan warga didasari adanya komepensasi berupa uang yang diterima warga di sekitar Tempat Pemrosesan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang di Kota Bekasi. Suhup menjelaskan, persoalan TPST Bantar Gebang berbeda dengan TPA Burangkeng.
“Bantar Gebang kompensasinya dari DKI Jakarta. Kenapa Pemerintah DKI Jakarta boleh memberikan uang kompensasi, karena pembuangan sampahnya di luar wilayah. Kalau Burangkeng kan bagian dari Kabupaten Bekasi, bukan di luar Kabupaten Bekasi. Nah Pemerintah Kota Bekasi pun tidak memberikan kompensasi dalam bentuk uang tapi dalam bentuk sarana kesehatan, pendidikan dan sebagainya,” kata dia.
Suhup menambahkan, pada pertemuan tersebut sebenarnya Pemkab bersedia memfasilitasi usulan lain yang sebelumnya sudah disampaikan warga. Namun sayangnya, warga justru memilih walk out dan ‘kekeuh’ ingin memeroleh kompensasi dalam bentuk uang.
“Meskipun nilai uangnya tidak terlalu besar, tapi kalau uang negara, sekecil apapun digunakan dengan menyalahi aturan kan tetap salah, kami tidak berani. Padahal jika diganti dengan kompensasi lainnya seperti dalam bentuk infrastruktur, sarana kesehatan dan sekolah-sekolah baru justru lebih baik, namun mereka tidak mau sehingga pertemuan juga tidak ada titik temu,” ujarnya.
Karena tidak ada kesepakatan yang terjalin, lanjut Suhup, Pemkab memberikan batas waktu pada warga untuk membuka TPA Burangkeng sampai Kamis (14/03). Jika melebihi waktu yang ditentukan, Pemkab berencana bakal meminta bantuan aparat keamanan.
“Tadi peserta rapat menyimpulkan sampai besok, unsur Muspika di Kecamatan Setu akan melakukan musyawarah agar warga dapat dengan sukarela membuka TPA. Kalau sampai besok tidak dibuka, dengan sangat terpaksa nantinya kami akan minta bantuan pihak kemanan. Karena itu TPA resmi, legal, jangan sampai berlarut karena dampaknya sangat riskan. Sampah sudah di mana-mana,” kata Suhup. (BC)