BERITACIKARANG.COM, BANDUNG – Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi menyampaikan protes keras terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mewajibkan sekolah menyerahkan ijazah secara sukarela kepada seluruh siswa. Kebijakan tersebut dinilai merugikan kalangan pesantren dan dianggap tidak berpihak pada sistem pendidikan berbasis keagamaan.
Protes ini disampaikan dalam forum audiensi yang melibatkan pengurus PCNU, RMI-NU, Forum Pondok Pesantren, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), serta perwakilan pesantren. Forum ini diterima oleh pimpinan dan anggota DPRD Jawa Barat.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi, KH. Atok Romli Mustofa, menyatakan kekecewaannya terhadap kebijakan tersebut. “Kami sangat menyayangkan kebijakan ini karena tidak berpihak pada pesantren dan cenderung dzolim. Kebijakan ini sangat menyedihkan,” ujarnya.
BACA: Perda Pesantren di Kabupaten Bekasi ‘Masih Ompong’
KH. Atok menambahkan bahwa kebijakan tersebut menimbulkan keresahan di kalangan pesantren karena dianggap tidak melalui kajian yang komprehensif dan partisipatif. Ia menilai keputusan itu diambil secara spontan, intimidatif, dan intuitif oleh Gubernur Jawa Barat.
Kebijakan tersebut juga disertai ancaman pencabutan izin operasional dan penghentian program bantuan pendidikan menengah universal (BPMU) bagi pesantren atau sekolah yang menolak melaksanakannya. Hal ini dinilai akan berdampak signifikan terhadap operasional pesantren, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Dampak Finansial dan Moral
KH. Kholid, pengasuh Pondok Pesantren Yapink Pusat, menegaskan bahwa pesantren telah berkontribusi besar dalam pendidikan masyarakat jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, kebijakan ini berpotensi menghambat pengelolaan pesantren, terutama dari segi finansial.
“Para alumni datang ke pesantren untuk meminta ijazah berdasarkan arahan Gubernur Jawa Barat. Namun di sisi lain, ada kewajiban finansial yang belum dipenuhi oleh mereka. Hal ini tentu mengganggu proses belajar mengajar,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa pesantren di Kabupaten Bekasi harus menanggung beban finansial yang besar akibat kebijakan tersebut. “Ada pesantren yang mengeluarkan hingga Rp1-1,7 miliar untuk kebutuhan operasional, namun belum dilunasi oleh alumni,” tambah KH. Kholid.
Lebih jauh, ia mengingatkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini, yaitu degradasi akhlak generasi muda. “Jika santri tidak diajarkan tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya, maka generasi bangsa akan rusak. Tidak akan terwujud generasi emas yang kita cita-citakan,” tegasnya.
Kritik Terhadap Kebijakan Non-Partisipatif
Ketua BMPS Kabupaten Bekasi, H. M. Syauqi, juga mengecam kebijakan tersebut karena dianggap tidak melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses pengambilan keputusan. Ia menegaskan bahwa peran pesantren dan sekolah swasta sangat fundamental dalam sistem pendidikan Indonesia.
“Memang benar pendidikan gratis adalah hak seluruh rakyat Indonesia dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, apakah pemerintah mampu memenuhi kewajiban itu tanpa peran sekolah swasta, khususnya pesantren? Kami yakin tidak,” katanya.
Syauqi juga menyebutkan bahwa data menunjukkan pemerintah hanya mampu menyediakan pendidikan gratis melalui sekolah negeri untuk 25-35 persen populasi. Sisanya sangat bergantung pada kontribusi sekolah swasta dan pesantren.
Melalui audiensi ini, PCNU Kabupaten Bekasi berharap DPRD Jawa Barat dapat mendorong Gubernur untuk merevisi kebijakan tersebut. “Kami membutuhkan solusi konkret atas masalah yang timbul akibat kebijakan ini,” ujar H. M. Syauqi. (DIM)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS