BERITACIKARANG.COM, BABELAN – Puluhan warga dari pesisir utara Kabupaten Bekasi yang tergabung dalam berbagai komunitas dan organisasi masyarakat sipil menggelar aksi damai di depan Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Selasa (27/05) kemarin. Mereka menuntut penghentian operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara milik PT Cikarang Listrindo yang berlokasi di Babelan, Kabupaten Bekasi.
Aksi ini bertujuan untuk menyampaikan policy brief yang berisi kajian akademik mengenai dampak negatif PLTU tersebut terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Dalam aksi damai yang disertai kampanye kreatif ini, warga menyuarakan keprihatinan mereka atas polusi udara yang ditimbulkan PLTU dan dampaknya terhadap kehidupan mereka sehari-hari.
Berdasarkan data dalam policy brief yang disampaikan, PLTU Babelan setiap tahunnya membakar sekitar 1,2 juta ton batubara, menghasilkan emisi polutan berbahaya seperti PM2.5—partikel halus yang dapat masuk ke paru-paru dan aliran darah manusia. Data dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) tahun 2023 menunjukkan bahwa PLTU Babelan menjadi penyumbang PM2.5 tertinggi kedua di kawasan Jabodetabek, dengan emisi tersebut dikaitkan dengan lebih dari 4.000 kematian prematur per tahun di Jawa Barat.
BACA: Lampaui Angka Baku Mutu, Polusi Debu di Kabupaten Bekasi Memprihatinkan
Selain itu, warga sekitar PLTU melaporkan berbagai keluhan kesehatan, seperti batuk kronis (52,5%), sesak napas (27,5%), gangguan tidur, hingga stres akibat polusi udara dan suara. Selain itu, pembangunan PLTU ini disebut tidak melibatkan partisipasi publik secara transparan, bahkan diduga ada manipulasi dalam proses persetujuan warga.
Pembangunan PLTU Babelan juga dinilai melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi No. 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek ini dianggap cacat hukum karena tidak melalui proses partisipatif yang sah.
Ayu, Ketua BEM Institute Attaqwa, dalam orasinya menyatakan bahwa keberadaan PLTU Babelan melanggar tata ruang dan mengancam hak hidup sehat warga. “PLTU ini berdiri di zona yang tidak diperuntukkan untuk industri berat. Ini jelas bentuk pelanggaran tata ruang dan pengabaian terhadap hak hidup sehat warga,” tegasnya.
Sementara itu, Dani dari Rhizoma Indonesia menyebut keberlanjutan operasi PLTU ini sebagai pengkhianatan terhadap komitmen Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim. “Dibiarkannya PLTU Babelan beroperasi tanpa rencana penghentian jelas menandakan bahwa kebijakan iklim Indonesia sedang menuju arah yang salah,” ujarnya.
Namun demikian, aksi yang berlangsung tertib ini tidak mendapat respons memadai dari pihak Kementerian ESDM. Permohonan audiensi yang telah diajukan sejak awal Mei 2025 tidak direspons secara resmi. Delegasi warga hanya ditemui oleh staf yang disebut tidak memiliki kewenangan untuk menanggapi substansi tuntutan.
Warga dan koalisi komunitas yang terdiri dari BEM Institute Attaqwa, Terjal Babelan, Rhizoma Indonesia, LBH Jakarta, Extinction Rebellion (XR) Indonesia, dan jaringan komunitas #BekasiPukulPolusi menyatakan bahwa aksi ini bukanlah akhir dari perjuangan mereka. Mereka berjanji akan terus mengawal isu ini dan menggelar aksi lanjutan dengan massa yang lebih besar hingga tuntutan mereka didengar dan direspons secara layak oleh pemerintah.
“Bekasi butuh nafas, bukan polusi,” seru salah satu peserta aksi. Slogan tersebut menggema di tengah aksi sebagai simbol harapan agar pemerintah mengutamakan hak hidup sehat dan kelestarian lingkungan bagi seluruh warga. (RIZ/SOT)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS