BERITACIKARANG.COM, CIKARANG SELATAN – Buruh dan pengusaha harusnya saling memahami dalam memandang persoalan kenaikan upah. Buruh diminta mengerti tentang kondisi perekonomian saat ini. Di sisi lain, pengusaha pun harus terbuka mengemukakan kondisi perusahaan kepada para karyawannya.
“Jangan sampai persoalan UMK dan UMSK ini terus berlangsung dan berlarut-larut, hingga akhirnya investasi terganggu dan berimbas pada perekonomian,” kata Ketua Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia (ASPHRI), Yosminaldi saat ditemui di acara Seminar Nasional Human Resource Indonesia di Hotel Sahid Lippo Cikarang, Kamis (08/03).
Dalam seminar yang dihadiri ratusan praktisi human resource di berbagai perusahaan, Yosminaldi mengatakan, ancaman upah terhadap investasi ini semakin nyata. “Di Myanmar kemudian di Kamboja itu mereka sudah banyak membangun kawasan industri, sama seperti di sini. Mereka siap menampung para investor dengan iming-iming biaya operasional dan sumber daya manusia yang relatif murah. Jangan sampai investor kita pada pindah ke sana,” kata dia.
Menurut Yosminaldi, buruh harusnya memahami kondisi perekonomian saat ini di mana negara tengah gencar menarik para investor. Jangan sampai karena nilai upah yang tinggi, investor gagal menanamkan modalnya.
“Maksud saya, jangan sampai minta upah mahal tapi ujung-ujungnya pabrik pada tutup. Saya mendukung penerapan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Dengan adanya itu, ada acuan perusahaan menaikkan upah. Kemarin kenaikkan upah 8,7 persen saya kira cukup karena memang inflasi pun hanya sekitar 3,4 persen,” ucap dia.
Kendati demikian, persoalan upah ini wajib direspon pihak perusahaan dengan keterbukaan. Manajemen harus terbuka kepada para karyawan terkait kondisi perusahaan. Karena bagaimana pun, karyawan merupakan aset perusahaan.
“Jadi meski upah tidak naik signifikan, tapi ada insentif-insentif lain yang diterima karyawan. Misalnya saat perusahaan sedang untung besar, karyawan harus ikut menikmatinya dengan bentuk bonus. Jika biasanya bonus cuma sekali, naik menjadi dua atau tiga kali. Atau karyawan diberangkatkan umrah atau sebagainya,” kata dia.
Yosminaldi mengatakan, hal tersebut kerap dilupakan perusahaan hingga akhirnya muncul desakan kenaikan upah. “Saya mengerti perusahaan memiliki kepentingan untuk dirinya, tapi karyawan pun bagian dari perusahaan. Jika telah terjadi keterbukaan, saya meyakini buruh atau karyawan akan paham dan perusahaan pun paham apa yang dibutuhkan perusahaannya,” ucap dia.
Hal yang diutarakan tersebut, kata Yosminaldi, sesuai dengan tugasnya. Meski berstatus sebagai perusahaan, kata dia, seorang human resource harus berada di antara perusahaan dan karyawan.
“Maka selalu saya sampaikan bahwa seorang human resource bukan sekedar mengurus karyawan, mengurus cutinya atau mengurus gajinya, tapi berada sebagai penengah antara perusahaan dan karyawan. Seorang human resource membela dunia usaha bukan membela pengusahanya. Human reousrce bukan di pihak karyawan atau pengusaha, tapi di pihak aturan. Maka kenapa PP 78 didukung karena memang aturannya, namun jalan penengah antara pengusaha dan karyawan itu,” kata dia.
Untuk menjawab persoalan upah minimum ini, lanjut dia, ASPHRI telah mengajukan diri sebagai bagian dari perumus upah, di antara buruh, pengusaha dan pemerintah. “Kalau sekarang itu kan tripartit, ada pemerintah, pengusaha dan buruh, maka kami ajukan HRD sebagai terlibat di dalamnya. Karena HRD ini yang paling tahu kondisinya,” ucap dia.
Sejumlah pembicara hadir turut mengisi seminar nasional yang digelar rutin setiap tahun ini, di antaranya pakar manajemen sumber daya manusia Yunus Triyonggo, Dekan Psikologi Universitas Mercu Buana Muhammad Iqbal serta praktisi human resource PM Susbandono. Selain soal upah, seminar nasional ini pun membahas dunia teknologi digital yang makin berkembang. (BC)