BERITACIKARANG.COM, CIKARANG BARAT – Seorang siswa kelas 10 SMK Negeri di Cikarang Barat berinisial AAI (16) menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok kakak kelasnya. Peristiwa ini terjadi pada Selasa, 2 September 2025, saat jam istirahat sekolah. Korban mengalami kekerasan fisik hingga menyebabkan patah tulang rahang dan harus menjalani operasi bedah mulut di rumah sakit.
Menurut penuturan Indra Prahasta (41), ayah korban, aksi kekerasan tersebut bermula dari persoalan yang sangat sepele. AAI dipukuli karena memasuki kelas jurusan lain dan berfoto dengan siswi lintas jurusan. Indra mengungkapkan bahwa anaknya dipanggil oleh sejumlah kakak kelas dan digiring ke lapangan sepak bola di belakang sekolah, di mana para pelaku memukulnya secara bergiliran.
“Hanya gara-gara masuk kelas jurusan lain dan foto dengan siswi lintas jurusan, anak saya dipukuli. Mereka berjejer mukulin anak saya satu per satu. Satu orang bisa mukul sampai delapan kali,” kata Indra dengan nada kecewa.
Indra mengaku, meski keluarga pelaku sudah dua kali datang untuk meminta maaf, pihaknya tidak bisa menerima penyelesaian kasus ini dengan cara damai. Dirinya menegaskan agar proses hukum tetap berjalan. “Kami sebagai keluarga kecewa dan sakit hati dengan perlakuan mereka kepada anak kami. Apalagi kondisinya (sampai) cacat dan rahangnya patah. Jadi kasusnya harus tetap berlanjut,” kata dia.
BACA: DPR RI Apreasiasi Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Bullying di Kabupaten Bekasi
Kapolsek Cikarang Barat AKP Tri Baskoro Bintang Wijaya menyatakan bahwa pihak kepolisian telah memeriksa 13 orang saksi terkait kasus ini. Dari hasil pemeriksaan sementara, empat pelaku yang masih di bawah umur telah ditetapkan sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), sementara satu pelaku lainnya yang sudah dewasa ditetapkan sebagai tersangka. “Sebagian besar siswa dari salah satu SMK di Cikarang Barat dan 1 lagi merupakan bekas siswa sudah di DO oleh sekolah,” kata dia.
Kepala UPTD PPA DP3A Kabupaten Bekasi, Fahrul Fauzi, menyarankan agar kasus ini dapat diselesaikan melalui mekanisme diversi atau penyelesaian di luar jalur pengadilan. Pendekatan keadilan restoratif ini memungkinkan penyelesaian kasus dengan melibatkan mediasi antara pihak korban dan pelaku, selama keluarga korban menyetujui.
“Diversi ini sifatnya ditawarkan terlebih dahulu. Kalau keluarga korban berkenan, maka bisa ditempuh. Tetapi jika korban menolak, proses hukum tetap harus berjalan,” ujar Fahrul.
Pemerintah Kabupaten Bekasi, sambungnya, berkomitmen untuk memberikan pendampingan sosial kepada korban maupun pelaku yang berstatus anak. Hal ini dilakukan untuk memastikan pemulihan psikologis dan pemenuhan hak pendidikan bagi kedua belah pihak. “Anak-anak yang menjadi pelaku tidak boleh ditempatkan di tahanan umum, melainkan dititipkan di lembaga sosial atau yayasan,” ungkapnya.
Fahrul juga mengatakan Pemerintah Kabupaten Bekasi telah melakukan monitoring ke sekolah dan berkoordinasi dengan kepolisian. Mereka juga menunggu informasi resmi dari pihak sekolah terkait status pelaku yang sebelumnya sudah dikeluarkan. “Penegakan hukum terhadap anak harus menjadi langkah terakhir, dengan tetap mengedepankan pendekatan yang memprioritaskan hak anak, baik bagi korban maupun pelaku,” tandasnya. (DIM)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS