Dedi Mulyadi : Ingin Indonesia Kokoh, Perkuat Bahasa ‘Ibu’

Kang Dedi ketika menyampaikan kuliah umum kebangsaan di Olympic House, Stadium Path, Hongkong pada Sabtu (19/08) kemarin.
Kang Dedi ketika menyampaikan kuliah umum kebangsaan di Olympic House, Stadium Path, Hongkong pada Sabtu (19/08) kemarin.

BERITACIKARANG.COM, CIKARANG PUSAT – Ketika berbicara mengenai Indonesia, pasti akan berbicara mengenai keragaman. Dan ketika berbicara keragaman, tentu  akan menyinggung kebudayaan sehingga tak mungkin berbicara kebangsaan tanpa membahas kebudayaan. Demikian disampaikan Ketua DPD Golkar Provinsi Jawa Barat, Dedi Mulyadi ketika menyampaikan kuliah umum kebangsaan di Olympic House, Stadium Path, Hongkong pada Sabtu (19/08) kemarin.

Dalam kuliah umum yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan Untuk Indonesia bekerjasama dengan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hongkong, pria yang juga menjabat sebagai Bupati Purwakarta itu menjelaskan ada empat unsur pokok dalam kebudayaan, yakni bahasa, makanan, pakaian dan kesenian.

Bacaan Lainnya

Bahasa, kata dia, sangat menentukan karakteristik seseorang. Orang dari Solo, Makasar, Bandung, Ciamis, Cikarang dan Karawang misalnya, akan terlihat karakteristiknya masing-masing dari segi dialek bahasa. Maka, bahasa daerah atau bahasa ibu, merupaka fondasi yang kokoh bagi kebudayaan Indonesia.

“Jadi bila kita ingin Indonesia kokoh, bahasa ibu harus tetap kita perkuat dengan cara kita ajarkan pada anak-anak kita,” kata tokoh Nahdlatul Ulama Purwakarta yang akrab disapa Kang Dedi itu.

Sebab, dari bahasa itulah akan lahir memori tentang lingkungan atau habitat yang menjadi tempat hidup anak-anak. Dari bahasa itu pula hubungan antara ibu dengan anak menjadi sedemikian dekatnya melalui tradisi turun temurun.

Dalam kebudayaan Sunda misalnya, ada tradisi makanan yang dikonsumsi anak-anak harus dikunyah dahulu oleh ibunya. Tradisi ini memiliki makna filosofis, bahwa segala hal yang diterima anak-anak harus disaring terlebih dahulu oleh sang ibu.

“Namun kini, ketika banyak anak-anak memiliki ponsel, mereka menerima hal-hal yang tidak disaring dahulu oleh orang tuanya. Jadi wajar jika saat ini banyak anak-anak seperti orang dewasa, dan orang dewasa seperti anak kecil,” kata kang Dedi.

Semua itu, menurut kang Dedi, karena tradisi “mengunyah oleh ibu” hilang. Hal itu seiring dengan memudarnya bahasa ibu.

Kemudian, unsur pokok kebudayaan terpenting kedua adalah makanan. Menurut kang Dedi, makanan menjadi salah satu unsur penting penentu peradaban. Dan menjamurnya makanan cepat saji saat ini turut memperlemah kehadiran makanan tradisional.

Bahkan, beberapa makanan tradisional bumbunya pun kini pengolahannya sudah berubah seturut dengan makanan cepat saji. Bumbu makanan tradisional diolah dengan blender listrik. Padahal, sejatinya, bumbu masakan tradisional itu lebih lezat diolah dengan ulekan dan cobek.

“Dan kini, pengaruh dari pola memasak ini pun menghasilkan “generasi blender” yang konsumtif, yang gila konsumsi tanpa mau investasi,” ujarnya.

Bagi kang Dedi, tradisionalisme makanan membentuk karakteristik kebangsaan yang kuat. Dan ketika semua tradisionalisme itu sudah digusur oleh makanan cepat saji, maka rasa kebangsaannya pasti menurun.

Sebab, dengan begitu, tidak ada lagi ciri khas dari daerah-daerah di nusantara yang bisa dirindukan. Karena seluruh makanan khas yang merupakan dasar kuat peradaban telah tergusur oleh makanan cepat saji yang diimpor dari luar negeri.

“Dalam proses pembuatan makanan cepat saji, tidak akan ada lagi gotong royong yang khas dalam pembuatan masakan tradisional. Kebersamaan pun hilang, yang menjadi akar dari hilangnya rasa kebangsaan,” kata dia.

Dan pakaian, unsur pokok lainnya dalam kebudayaan, juga merupakan penentu rasa kebangsaan. Iket, pangsi dan batik merupakan beberapa contoh pakaian nusantara yang bisa memperbesar rasa kebangsaan.

“Pakaian nusantara pun memiliki nilai spiritualitas. Sebab, dalam proses pembuatannya seperti menyulam, menenun atau merenda, dibutuhkan spiritualitas tinggi dari sang pembuatnya,” tuturnya.

Unsur pokok kebudayaan lainnya adalah kesenian. Kang Dedi menegaskan, kesenian adalah pembentuk peradaban yang sangat penting. Karena ia merupakan tanda ‘pengenal’ suatu kebudayaan. (BC)

Pos terkait